Rabu, 07 Maret 2012

PERSON CENTERED


PERSON CERTERED THERAPY
A.    Pandangan Person Centered menurut Carl Rogers
Konseling berpusat pada person (person centred counseling) dikembangkan oleh Carl Person Rogers, salah seorang psikolog klinis yang sangat menekuni bidang konseling dan psikoterapi. Dia dilahirkan pada 1920 di Loak Park, Illinois. Keluarganya termasuk tekun beragama dan Rogers sendiri termasuk penganut Protestan yang taat.
Dalam bidang pendidikan tinggi, Rogers menjadi mahasiswa pada Educational and Psychology Course di Columbia University. Dari sinilah pokok-pokok pemikirannya dipengaruhi. Gelar doktornya disandang pada usia 29 tahun pada universitas yang sama. Disertasi yang ditulis adalah Measuring Personality Adjusment in Children Nine to Thirteen Years of Age.
Karya-karyanya sangat banyak, diantara buku yang telah ditulis adalah: Counseling and Psychotherapy: Newer Concept in Practice, Client Centred Therapy, Freedom to Learn, dan On Becoming Person, dan berbagai artikel tentang teorinya di berbagai jurnal ilmiah. Rogers adalah penganut paham humanistic, sejalan dengan teman-temannya seperti Abraham Maslow.
Berdasarkan sejarahnya, teori konseling yang dikembangkan Rogers ini mengalami beberapa perubahan. Pada mulanya dia mengembangkan pendekatan konseling yang disebut non-directive counseling (1940). Pendekatan ini sebagai reaksi terhadap teori-teori konseling yang berkembang saat itu yang terlalu berorientasi pada konselor atau directive counseling. Pada 1951 Rogers mengubah namanya menjadi client centred counseling sehubungan dengan perubaghan pandangan tentang konseling yang menekankan pada upaya reflektif terhadap perasaan klien. Enam tahun berikutnya, pada 1957 Rogers mengubah sekali lagi pendekatannya menjadi konseling yang berpusat pada person (person centred), yang memandang klien sebagai partner dan perlu adanya keserasian pengalaman baik pada klien maupun konselor dan keduanya perlu mengemukakan pengalamannya pada saat hubungan konseling berlangsung.
Konseling berpusat pada person ini memperoleh sambutan positif dari kalangan ilmuwan maupun praktisi, sehingga dapat berkembang secara pesat. Hingga saat ini, pendekatan konseling ini masih relevan untuk dipelajari dan diterapkan. Dalam kaitan ini Geldard (1989) menyatakan bahwa karya Rogers ini memiliki kekuatan (powerfull) dan manfaat (userfull) dalam membantu klien.
B.     Ciri-ciri pendekatan Person centered
Berikut ini uraian ciri-ciri pendektan Client Centered dari Rogers :
1)        Client dapat bertanggungjawab, memiliki kesanggupan dalam memecahkan masalah dan memilih perilaku yang dianggap pantas bagi dirinya.
2)        Menekankan dunia fenomenal client. Dengan empati dan pemahaman  terhadap client, terapis memfokuskan pada persepsi diri client dan persepsi client terhadap dunia.
3)        Prinsip-prinsip psikoterapi berdasarkana bahwa hasrat kematangan psikologis manusia itu berakar pada manusia sendiri. Maka psikoterapi itu bersifat konstrukstif dimana dampak psikoteraputik terjadi karena hubungan konselor dan client. Karena hal ini tidak dapat dilakukan sendirian (client).
4)        Efektifitas teraputik didasarkan pada sifat-sifat ketulusan, kehangatan, penerimaan nonposesif dan empati yang akurat.
5)        Pendekatan ini bukanlah suatu sekumpulan teknik ataupun dogma. Tetapi berakar pada sekumpulan sikap dan kepercayaan dimana dalam proses terapi, terapis dan client memperlihatkan kemanusiawiannya dan partisipasi dalam pengalaman pertumbunhan.
C.     Teori Kepribadian
Rogers sebenarnya tidak terlalu memberi perhatian kepada teori kepribadian. Baginya cara mengubah dan perhatian terhdap proses perubahan kepribadian jauh lebih penting daripada karakteristik kepribadian itu sendiri. Namun demikian, karena dalam proses konseling selalu memperhatikan perubahan-perubahan kepribadian, maka atas dasar pengalaman klinisnya Rogers memiliki pandangan-pandangan khusus mengenai kepribadian, yang sekaligus menjadi dasar dalam menerapkan asumsi-asumsinya terhadap proses konseling.
Untuk memahami lebih luas tentang pandangannya tentang manusia perlu memahami cara pandang Rogers tentang kepribadian. Rogers mengungkapkan bahwa terdapat tiga unsure yang sangat esensial dalam hubungannya dengan kepribadian, yaitu self, medan fenomenal, dan organisme.
Self adalah bagian dari kepribadian yang terpenting dalam pandangan Rogers. Self (disebut pula struktur self atau self cencept) merupakan persepsi dan nilai-nilai individu tentang dirinya atau hal-hal lain yang berhubungan dengan dirinya. Self merupakan suatu konsepsi yang merupakan persepsi mengenai dirinya “I” atau “me” dan persepsi hubungan dirinya dengan orang lain dengan segala aspek kehidupannya. Self meliputi dua hal, yaitu self riil (real-self) dan self ideal (ideal-self). Real self merupakan gambaran sebenarnya tentang dirinya yang nyata, dan ideal-self merupakan apa yang menjadi kesukaan, harapan, atau yang idealisasi tentang dirinya. Medan fenomenal (fenomenal field) merupakan keseluruhan pengalaman seseorang yang diterimanya baik yang disadari maupun yang tidak disadari. Pengalaman yang meliputi peristiwa-peristiwa yang diperoleh dari pengamatan dan dari apa yang pernah dilakukan individu. Pengalaman ada yang bersifat internal yaitu persepsi mengenai dirinya sendiri dan pengamatan yang bersifat eksternal yaitu persepsi mengenai dunia luarnya. Pengalaman-pengalaman ini berbeda individu satu dengan lainnya, dan dapat menjadi self. Kita dapat memahami medan fenomenal seseorang hanya dengan menggunakan kerangka pemikiran internal individu yang bersangkutan (internal frame of reference). Pemahaman secara empati, sebagai bentuk internal frame of reference, sangat berguna dalam memahami medan fenomenal ini.  Organisme merupakan keseluruhan totalitas individu, yang meliputi pemikiran, perilaku, dan keadaan fisik. Organisme mempunyai satu kecenderungan dan dorongan dasar, yaitu mengaktualisasikan, mempertahankan, dan mengembangkan diri. Perilaku itu merupakan usaha organism yang berarah tujuan (goal-directed) yaitu untuk memuaskan kebutuhan-kebutuhan sebagaimana dialaminya, dan dalam medan sebagaimana yang diamatinya. Dalam hubungan ini emosi menyertai dan pada umumnya memberikan fasilitas perilaku berarah tujuan itu. Kebanyakan cara-cara berperilaku yang diambil orang adalah yang selaras dengan konsep self.
Organisme bereaksi terhadap medan fenomenal sebagaimana medan itu dialami dan diamati. Bagi individu dunia pengamatan ini adalah kenyataan (realitas). Organisme bereaksi terhadap medan fenomenal sebagai keseluruhan yang terorganisasi. Kepribadian menurut Rogers merupakan hasil dari interaksi yang terus menerus antara organisme, self, dan medan fenomenal. Untuk memahami perkembangan kepribadian perlu dibahas tentang dinamika kepribadian sebagaimana berikut ini:
1.      Kecenderungan mengaktualisasi diri
Rogers beranggapan bahwa organism manusia adalah unik dan
memiliki kemampuan untuk mengarahkan, mengatur, mengontrol dirinya dan mengembangkan potensinya. Oleh karena itu manusia berkecenderungan untuk mengaktualisasikan diri yaitu untuk mengembangkan seluruh kemampuannya dengan jalan memelihara meningkatkan organisme ke arah otonomi. Kecederungan mengaktualisasikan ini sifatnya terarah, konstruktif dan ada dalam kehidupannya. Kecenderungan mengaktualisasi sebagai daya dorong (motive force) individu, yang bersifat inherent, karena sudah dimiliki sejak dilahirkan, hal ini ditunjukkan dengan kemampuan bayi untuk memberikan penilaian apa yang terasa baik (actualizing) dan yang terasa tidak baik (nonactualizing) terhadap peristiwa yang diterimanya.
2.      Penghargaan positif dari orang lain
      Self  berkembang dari interaksi yang dilakukan organisme dengan realitas lingkungannya, dan hasil interaksi ini menjadi pengalaman bagi individu. Lingkungan sosial yang sangat berpengaruh adalah orang-orang yang bermakna baginya, seperti orang tua atau orang terdekat lainnya. Seseorang akan berkembang positif jika di dalam berinteraksi itu mendapatkan penghargaan, penerimaan, dan cinta dari orang  lain (positive regard). Sepanjang berinteraksi dengan orang lain itulah individu membutuhkan penghargaan secara positif. Jika kebutuhan ini diperolehnya, maka individu juga akan belajar dan merasakan dirinya sebagai orang yang berharga, dapat menerima dan mencintai dirinya sendiri (self-regard). Memperoleh penghargaan positif dari orang lain tanpa syarat dan penghargaan diri secara positif pada hakikatnya adalah kebutuhan tiap individu (Pescitelli, 1997). Tentunya penghargaan positif yang diberikan kepada individu tidak diberikan dengan cara memaksa atau bersyarat (condition of worth). Pemberian penghargaan yang bersyarat akan menghambat pertumbuhannya.
3. Person yang berfungsi secara utuh.
            Individu yang terpenuhi kebutuhannya, yaitu memperoleh penghargaan positif tanpa syarat dan mengalami penghargaan diri, akan dapat memncapai kondisi yang kongruensi antara self dan engalamannya, pada akhirnya dia akan dapat mencapai penyesuaian psikologis secara baik. Rogers menegaskan bahwa orang yang demikian ini menjadi pribadi yang berfungsi secara sempurna (fully functional person), yang ditandai oleh keterbukaan terhadap pengalaman, percaya kepada organismenya sendiri, dapat mengekpresikan perasaan-perasaannya secara bebas, bertindak secara mandiri, dan krteatif (Rogers, 1970). Fully functioning ini pada dasrnya sebagai tujuan hidup manusia.
D.    Hakikat Manusia
            Berangkat dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Rogers menolak pandangan Freud, bahwa perilaku manusia cenderung tidak disadari, irrasional, dan destruktif. Sebaliknya, Rogers beranggapan bahwa manusia memiliki kemampuan untuk membimbing, mengatur, dan mengendalikan dirinya sendiri.
Secara lebih lengkap hakikat manusia menurut Rogers adalah sebagai berikut :
1.    Manusia cenderung untuk melakukan aktualisasi diri, hal ini dapat dipahami bahwa organisme akan mengaktualisasikan kemampuanya dan memiliki kemampuan untuk mengarahkan dirinya sendiri.
2.    Perilaku manusia pada dasarnya sesuai dengan persepsinya tentang medan fenomenal dan individu itu mereaksi medan itu sebagaimana yang dipersepsi. Oleh karena itu, persepsi individu tentang medan fenomenal bersifat subjektif.
3.     Manusia pada dasarnya bermanfaat dan berharga dan dia memiliki nilai-nilai yang dijunjung tinggi sebagai hal yang baik bagi dirinya.
4.    Secara mendasar manusia itu baik dan dapat dipercaya, konstruktif tidak merusak dirinya.
            Asumsi-asumsi tentang manusia ini secara prinsipil menentukan tujuan dan prosedur konseling yang harus diperhatikan oleh konselor yang berpusat pada person.
E.     Pandangan Tentang Sifat manusia
            Manusia dalam pandangan Rogers adalah bersifat positif. Ia mempercayai bahwa manusia memiliki dorongan untuk selalu bergerak ke muka, berjuang untuk berfungsi, kooperatif, konstrukstif dan memiliki kebaikan pada inti terdalam tanpa perlu mengendalikan dorongan-dorongan agresifnya. Filosofi tentang manusia ini berimplikasi dalam praktek terapi client centered dimana terapis meletakan tanggung jawab proses terapi pada client, bukan terapis yang memiliki otoritas. Client diposisikan untuk memiliki kesnggupan-kesangguapan dalam membuat keputusan.
Pendekatan konseling client centered menekankan pada kecakapan klien untuk menentukan isu yang penting bagi dirinya dan pemecahan masalah dirinya. Konsep pokok yang mendasari adalah hal yang menyangkut konsep-konsep mengenai diri (self), aktualisasi diri, teori kepribadian,dan hakekat kecemasan. Menurut Roger konsep inti konseling berpusat pada klien adalah konsep tentang diri dan konsep menjadi diri atau pertumbuhan perwujudan diri.
Terapi berpusat pada klien (Client Centered Teraphy) merupakan salah satu teknik alternatif dalam praktik pekerjaan sosial, terutama bagi terapis yang tidak begitu menguasai secara baik beberapa teori dan praktik pekerjaan sosial, walaupun begitu bukan berarti tanpa tantangan dan keahlian yang spesific. Beberapa teori dan praktik pekerjaan yang bersifat dasar tetap menjadi kebutuhan mutlak dalam teknik terapi ini. Tulisan ini akan berusaha menjelaskan tentang latarbelakang historis terapi client centered, beberapa asumsi dasar, prinsip, tujuan dan teknik serta proses terapi client centered.
F.      Perilaku Bermasalah
Menurut Rogers, pembentukan self  berhubungan dengan pengalamannya. Hubungan self dengan pengalaman seseorang pada dasarnya dapat diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu :
1.      Kongruensi (congruence), yaitu pengalaman dengan self. Self yang sesuai dengan pengalaman biasanya oleh individu dilambangkan, diakui, dan dinyatakan atau disimbolisasikan.
2.      Tidak kongruensi (uncongruence), yaitu pengalaman yang tidak sesuai dengan self. Self yang tidak sesuai dengan pengalaman akan didistorsi dan ditolak.
3.      Self yang tidak memiliki hubungan dengan pengalaman. Self yang tidak memiliki hubungan dengan pengalaman akan diabaikan.
            Menurut Rogers, self terbentuk melalui dua proses, yaitu dengan proses asimilasi dan proses proyeksi. Proses asimilasi adalah proses pembentukan self yang terjadi karena akibat pengalaman langsung individu. Proses introyeksi merupakan proses pembentukan struktur self yang terjadi karena adanya interaksi individu dengan orang lain atau lingkungan sekitar. Pengalaman-pengalaman yang dapat terdiferensiasi sebagai struktur self adalah pengalaman-pengalaman yang sesuai dengan struktur self, sedangkan pengalaman yang tidak sesuai akan ditolak (denied) atau dikaburkan (distortion).           
Individu yang lebih banyak mengamati dan menerima pengalaman-pengalaman organismenya ke dalam struktur self-nya, dia akan mengetahui bahwa dia mengganti sistem nilai-nilainya yang pada umumnya didasarkan pada introyeksi yang telah diterimanya dalam bentuk yang tidak wajar.
Penyesuaian yang baik itu diawali oleh adanya kesesuaian antara pengalaman dengan self atau dalam keadaan kongruensi, sedangkan penyesuaian yang salah diawali oleh keadaan ketidaksesuaian antara pengalaman dengan self atau dalam keadaan tidak kongruensi yang segala pengalamannya dianggap ancaman dan individu terus melakukan distorsi dan penolakan terhadap pengalaman-pengalamannya.
Karakteristik perilaku bermasalah : pengasingan yakni orang yang tidak memperoleh penghargaan secara positif dari orang lain, ketidakselarasan antara pengalaman dan self (tidak kongruensi), mengalami kecemasan yang ditunjukkan oleh ketidakkonsistenan mengenai konsep dirinya, defensive, dan berperilaku yang salah penyesuaiannya (Hansen dkk, 1982).
G.    Prinsip-prinsip Konseling
Berdasarkan pandangan Rogers tentang hakikat konseling berpusat pada person dilaksanakan berdasarkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1)        Konseling berpusat pada person difokuskan pada tanggung jawab dan kesanggupan klien untuk menemukan cara-cara menghadapi kenyataan lebih sempurna.
2)        Menekankan pada dunia fenomenal klien, dengan jalan memberi empati dan perhatian terutama pada persepsi klien dan persepsinya terhadap dunianya.
3)        Konseling ini dapat diterapkan pada individu yang dalam kategori normal maupun yang mengalami derajad penyimpangan psikologis yang lebih berat.
4)        Konseling merupakan salah satu contoh hubungan pribadi yang konstruktif.
5)        Konselor perlu menunjukan sikap-sikap tertentu untuk mencipatakan hubungan terapetik kepada klien (Corey, 1998).
H.    Tujuan Konseling
Secara ideal tujuan konseling berpusat pada person tidak terbatas oleh tercapainya pribadi yang kongruensi saja. Bagi Rogers tujuan konseling pada dasarnya sama dengan tujuan kehidupan ini, yaitu apa yang disebut dengan fully functioning person, yaitu pribadi yang berfungsi sepenuhnya. Rogers beranggapan bahwa fully functioning person merupakan hasil dari proses dan karena itu lebih bersifat becoming, sedangkan aktualisasi diri sebagaimana yang dikemukakan Maslow merupakan keadaan akhir dari kematangan mental dan emosional, karena itu lebih merupakan self-being (Cottone, 1991).
I.       Hubungan Terapeutik
            Pada intinya, konseling person centred adalah terapi hubungan. Orang-orang dengan masalah emosional dalam hidup pernah terlibat dalam hubungan, tempat diman mereka merasakan penolakan dan pengucilan dari yang lain. Penyembuhannya adalah ada dalam hubungan yang menerima dan menghargai sepenuhnya sidiri tersebut. Karakteristik hubungan dapat menghasilkan efek ini dirangkum oleh Rogers (1957-1995) dalam formulasi “kondisi yang disyaratkan dan layak bagi perubahan kepribadian secara terapeutik”. Agar perubahan kepribadian konstruktif dapat terjadi, harus ada beberapa faktor dibawah ini dan harus terus ada selama beberapa waktu:
1)      Dua orang berada dalam kontak psikologis
2)      Yang pertama, mereka yang kita sebut istilah klien, dalam status tidak menentu, rapuh dan cemas.
3)      Orang kedua, kita sebut sebagai terapis, harmonis atau terintegrasi dalam hubungan.
4)      Terapis merasakan sikap positif tak bersyarat terhadap klien.
5)      Terapis merasakan pemahaman empatik terhadap kerangka rujukan internal klien (the internal frame of refence), dan berusaha mengkomunikasikan hal ini pada klien.
6)      Terjadinya pengkomunikasian pemahaman empatik terapis dan sikap positif tidak bersyarat terapis kepada klien, walaupun pada tingkatan yang paling minim.
J.       Tahapan Konseling
Tahapan konseling berpusat pada person menurut Boy dan Pine (1981) jika dilihat dari apa yang dilakukan konselor dapat dibuat dua tahap. Pertama, tahap membangun hubungan terapetik, menciptakan kondisi fasilitatif dan hubungan yang substantif seperti empati, kejujuran, ketulusan, penghargaan, dan positif tanpa syarat. Tahap kedua adalah tahap kelanjutan yang disesuaikan dengan efektivitas hubungan konseling dan disesuaikan dengan kebutuhan klien.
Sedangkan jika dilihat dari segi pengalaman klien dalam proses hubungan konseling dapat dijabarkan bahwa proses konseling dapat dibagi menjadi empat tahap Corey, (1988). Tahap pertama klien datang ke konselor dalam kondisi tidak kongruensi, mengalami kecemasan, atau kondisi penyesuaian diri yang tidak baik. Tahap kedua, saat klien menjumpai konselor dengan penuh harapan dapat memperoleh bantuan, jawaban atas permasalahan yang sedang dialami, dan menemukan jalan atas kesulitan-kesulitannya. Perasaan yang ada pada klien adalah ketidak mampuan mengetasi kesulitan hidupnya.
Tahap ketiga, pada awal konseling klien menunjukan prilaku, sikap, dan perasaannya yang kaku. Dia menyatakan permasalahan yang dialami kepada konselor secara permukaan dan belum menyatakan pribadi yang dalam. Pada awal-awal ini klien cenderung mengeksternalisasi perasaan dan masalahnya, dan mungkin bersikap defensif. Tahap keempat klien mulai menghilangkan sikap dan perilaku, membuka diri terhadap pengalamannya., dan belajar untuk bersikap lebih matang dan lebih teraktualisasi, dengan jalan menghilngkan pengalaman yang didistorsinya.
K.    Teknik-teknik Konseling
Untuk terapis person centered , kualitas hubungan konseling jauh lebih penting daripada teknis. Rogers (1957) percaya bahwa ada tiga kondisi yang perlu dan sudah cukup untuk konseling, yaitu (1) empathy; (2) positive regard (acceptance);(3) congruence (genuineness).
Empati adalah kemampuan konselor untuk merasakan bersama dengan klien dan menyampaikan pemahaman ini kembali kepada mereka. Empati adalah usaha berfikir bersama bukan berfikir atau untuk mereka (Brammer, Ambrego dan Shostrom, 1993). Rogers (1980) mengatakan bahwa penelitian yang ada mekin menunjukan bahwa empati dalam suatu hubungan mungkin adalah faktor yang paling berpengaruh dan sudah pasti merupakan salah satu faktor yang membawa perubahan dan pembelajaran. Positive regard yang dikenal juga sebagai akseptansi adalah genuine caring yang mendalam untuk klien sebagai pribadi- sangat menghargai klien karena keberadaannya (Rogers, 1971,1980). Kongruensi adalah kondisi transparan dalam hubungan teraupetik dengan memakai topeng atau pulasan-pulasan (Rogers, 1980). Menurut Rogers perubahan kepribadian yang positive dan signifikan hanya bisa terjadi di dalam suatu hubungan.




Daftar Pustaka

Latipun.2008. Psikologi Konseling. Malang: UMM Press
McLEOD, John.2006.pengantar konseling: teori dan studi kasus.jakarta: kencana prenada media group

Tidak ada komentar:

Posting Komentar