BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perubahan
sosial budaya adalah sebuah gejala berubahnya
struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat. Perubahan sosial budaya
merupakan gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat.
Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu
ingin mengadakan perubahan. Hirschman
mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan. Dalam suatu proses modernisasi, suatu proses perubahan yang
direncanakan, melibatkan semua kondisi atau nilai-nilai sosial dan kebudayaan
secara integratif. Atas dasar ini, semua fihak, apakah tokoh ? Tokoh
masyarakat, formal atau non-formal, anggota masyarakat lainnya, apakah dalam
skala individual atau pun dalam skala kelompok, seyogianya memahami dan
menyadari, bahwa, manakala salah satu aspek atau unsur sosial atau kebudayaan
mengalami perubahan, maka unsur-unsur lainnya mesti menghadapi dan
mengharmonisikan kondisinya dengan unsur-unsur lain yang telah berubah terlebih
dulu.
Oleh karena itu mesti memahami
dan menyadari bahwa sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan ada yang berkualifikasi norma (norm) dan nilai (value). Di
mana norma skala keberlakuannya tergantung pada aspek waktu, ruang (tempat,
dan kelompok sosial yang bersangkutan; sedangkan nilai (value) skala
keberlakuannya lebih universal. Dalam tatanan masyarakat yang maju atau
modern, maka nilai-nilai sosial dan kultural yang bersifat universal
mendominasi dan mengisi semua mosaik kehidupan masyarakat yang bersangkutan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud
dengan Teori Perubahan Sosial?
2.
Bagaimana
terjadinya Proses Perubahan Sosial?
3.
Mengapa terjadi Fenomena
Sosial Budaya?
4.
Apa pengertian
Masyarakat dan kebudayaan?
5.
Bagaiamana aneka
Ragam Kebudayaan Indonesia?
6.
Pengertian
Modernisasi?
7.
Mengapa Teknologi
Merupakan Produk Budaya?
8.
Pengertia peradaban
dan Perubahan Sosial??
BAB II PEMBAHASAN
PERUBAHAN SOSIAL DAN BUDAYA
A.
Teori Perubahan Sosial
1. Teori
Evolusioner
Semua
teori evolusioner menilai bahwa perubahan sosial memiliki arah tetap yang
dilalui oleh masyarakat. Semua masyarakat itu melalui urutan pertahapan yang
sama dan bermula dari tahap perkembangan awal menuju ketahap perkembangan
terakhir. Disamping itu, teori-teori evolusiner menyatakan bahwamanakala tahap
terakhir telah dicapai, maka saat itu perubahan evolusioner pun berakhir.
Auguste
Conte (1798-1857), seorang sarjana perancis yang kadangkala disebut sebagai
pendiri sosiologi, melihat adanya tiga tahap perkembangan yang dilakukan oleh
masyarakat : 1) tahap teologis (Theological
stage), yakni tahap dimana masyarakat yang percaya dan merasa dikelilingi
kekuatan-kekuatan gaib adikodrati (supernatural); 2) tahap metafisik (methaphysical stage) , yakni tahap
peralihan dimana kepercayaan terhadap unsur kodrati digeser oleh
prinsip-prinsip abstrak yang berperan sebagai dasar perkembangan budaya; dan 3)
tahap positif atau tahap ilmiah (positive
or scientific stage), dimana masyarakat diarahkan oleh kenyataan empirik
yang didukung oleh prinsip-prinsip ilmu pengetahuan.
Herbert
Spencer (1820-1930) adalah sarjana inggris yang menulis buku pertama berjud ul Prinsip-prinsip sosiologi. Sebagaimana
halnya dengan kebanyakan sarjana pada masanya, spencer tertarik pada teori
evolusi organisasinya Darwin dan ia melihat ada persamaan dengan evolusi
sosial- peralihan masyarakat melalui serangkaian tahap yang berawal dari tahap
kelompok suku yang homogen dan sederhana ke tahap masyarakat modern yang
kompleks. Spencer menerapkan konsep “yang terkuatlah yang menang”-nya. Darwin
terhadap masyarakat. Ia berpandangan bahwa orang-orang yang cakap dan bergairah
(energik) akan memenangkan perjuangan hidup, sedang orang-orang yang malas dan
lemah akan tersisih. Pandangan ini kemudian dikenal sebagai ‘Darwinisme sosial’ dan banyak dianut
oleh golongan karya.
2. Teori
Siklus
Para
penganut teori siklus melihat adanya sejumlah tahap yang harus dilalui oleh
masyarakat, dan mereka berpandangan bahwa peralihan masayarakat bukan terakhir
pada tahap “terakhir” yang sempurna melainkan berputar kembali kepada tahap
awal untuk peralihan selanjutnya.
Oswald
spengler, seorang ahli filsafat jerman berpandangan bahwa setiap peradaban
besar mengalami proses pentahapan kelahiran, pertumbuhan, dan keruntuhan.
Proses perputaran memakan waktu sekitar seribu tahun.
3. Teori
Fungsional dan Teori Konflik
Teori
fungsional penerimaan perubahan sebagai suatu yang konstan dan tidak memerlukan
‘penjelasan’. Perubahan dianggap mengacaukan keseimbangan masyarakat. Proses
pengacauan berhenti pada saat perubahan tersebut telah diintegrasikan kedalam
kebudayaan. Perubahan yang ternyata bermanfaat (fungsional) akan diterima sedangkan perubahan lain yang terbukti
tidak berguna (disfungsional) akan
ditolak.
Teori
konflik mengikuti pola perubahan evolusioner marx. Teori konflik menilai bahwa
yang konstan adalah konflik sosial bukan perubahan. Perubahan hanyalah akibat
dari adanya konflik tersebut. karena konflik berlangsung terus menerus, maka
perubahan pun demikian adanya. Perubahan menciptakan kelompok baru dan kelas
sosial baru. Konflik antar kelompok dan antar kelas sosial melahirkan perubahan
berikutnya. Setiap perubahan tertentu menunjukan keberhasilan kelompok atau
kelas sosial pemenang dalam melaksanakan kehendaknya terhadap kelompok lain.
B.
Proses Perubahan Sosial
William
F. Ogburn merupakan ilmuan pertama yang melakukan penelitian terinci tentang
perubahan sosial. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya perubahan
sosial seperti adanya penemuan, invensi, dan difusi. Penemuan merupakan
persepsi manusia yang dianut secara bersama, mengenai suatu aspek kenyataan
yang semula sudah ada. Penemuan baru akan menjadi faktor sosial jika sudah
didaya gunakan. Invesi sering disebut sebagai kombinasi baru atau cara
pengetahuan yang sudah ada. Pada tahun 1895 George selden mengkombinasikan
mesin gas cair, tangki gas cair, gigi persteling, kopeling, tangaki kemudi
(stir), dan badan kereta, kemudian mematenkan mesin aneh tersebut sebagai mobil.
Tidak satupun dari semua benda tersebut yang baru diciptakan. Satu-satunya yang
baru adalah pengguanaan segenap alat itu dengan cara menggabung-gabungkannya.
Hak paten selden mendapat kecaman dan pada akhirnya hak patennya dicabut
kembali oleh badan pengadilan dengan alasan bahwa ide pengkombinasian alat-alat
tersebut bukanlah ide asli selden.
Invensi
dapat dibagi menjadi dua klasifikasi yaitu invensi material (misalnya busur dan
anak panah, telepon dan pesawat terbang) dan invensi sosial (misalnya abjad,
pemerintahan konstitusional dan perusahaan).
Masyarakat
yang paling inventif lainnya manemukan sendiri sebagian dari seluruh inovasi
yang ada dalam masyarakat itu. Kebanyakan perubahan sosial pada masyarakat yang
dikenal merupakan hasil dari proses difusi, yakni penyebaran unsur-unsur budaya
dari suatu kelompok kekolompok lainnya. Difusi berlangsung baik didalam
masyarakat maupun antar masyarakat. Musik jazz berawal dari kalangan pemusik
kulit hitam New Orleans, kemudian menyebar kekelompok-kelompok lain yang ada
dalam masyarakat.
C.
Fenomena
Sosial Budaya
Fenomena
sosial budaya saling terkait satu dengan yang lain, keduanya dapat dibedakan,
tetapi tidak terpisahkan. Struktur sosial masyarakat dan kebudayaan adalah
suatu konteks, suatu lingkungan dan segala sesuatu yang berada di dalamnya
dapat dimengerti. Masyarakat dengan kebudayaannya menjelaskan citra orang
tentang ciri-ciri kepribadian yang diinginkan dan diupayakan realisasinya.
Masyarakat
Indonesia sangat heterogen secara sosiokultural, tingkat perkembangan mereka,
dan respon mereka terhadap berbagai fenomena kehidupan internal dan eksternal.
Setiap orang pada dasarnya adalah suatu kesatuan bio-psiko-sosio-kultural.
Kesatuan bio-psiko-kultural hanya dapat berkembang di dalam konteks sosio-kultural.
Salah satu cara memperoleh informasi konteks-sosio-kultural adalah mempelajari
hasil-hasil kajian sosioantropologi umumnya dan sosioantropologi pendidikan
khususnya.
Seperti
telah umum diketahui, masyarakat dipelajari oleh berbagai disiplin ilmu:
sosiologi, sejarah, ekonomi, demografi, antropologi, ilmu politik, dan
psikologi sosial. Masing-masing mempelajari masyarakat dengan tujuan dan sudut
pandang yang berbeda sehingga suatu disiplin ilmu sosial tak akan mampu
mengungkap semua realitas masyarakat, apalagi mengklaim hasil kajiannya
mewakili upaya menjelaskan dan memahami masyarakat.
Kajian
sosiologi memiliki dua tingkatan, yaitu kajian mikro (sosiologi mikro) dan kajian
makro (sosiologi makro) (Smelser, 1984: 7-8). Yang pertama memusatkan diri pada
individu di dalam interaksi sosial antar pribadi. Yang kedua menekankan pada
pola atau sistem perilaku yang menjadi tumpuan untuk memahami masyarakat secara
keseluruhan. Didalam melakukan kajian sosiologik, fenomena sosial yang ada
dapat didekati dengan merangkai kombinasi dari berbagai dimensi. Smelser (1984,
4-6) mengajukan lima komponen yaitu dimensi demografik, dimensi psikologik,
kolektif, hubungan, dan kultural.
Dimensi demografik
melihat fenomena sosial terdiri atas pengelompokan orang menurut pola
kelahiran, kematian, migrasi dan lain-lain yang berpengaruh terhadap fenomena
sosial yang ada. Dimensi
psikologik memberikan bahan bagaimana memahami
fenomena sosial dengan memperhatikan makna pribadi yang terlibat, misalnya yang
berkaitan dengan berpikir, motivasi, reaksi emosional, kecakapan sosial, sikap
sosial dan jati diri. Dimesi kolektif
akan membantu memahami perilaku di dalam kelompok di masyarakat. Misalnya
kerjasama, persaingan dan bahkan konflik antar kelompok. Dimensi hubungan sosial seperti terdapat di dalam kajian, tentang
peranan sosial merupakan hal yang perlu diperhatikan dalam kajian sosiologik,
misalnya berkembangnya struktur sosial di dalam suatu birokrasi atau
organisasi. Yang terakhir adalah Dimensi
kultural. Ahli sosiologi dapat mengkaji masyarakat secara utuh meliputi
hal-hal yang berkaitan dengan aturan dan sistem nilai yang mengatur perilaku
individu berhubungan dengan individu ataupun kelompok lain. Konsentrasi
penggunaan dimensi tertentu dipilih berdasarkan relevansinya dengan kajian
sosiologi yang dikerjakan.Para calon pendidik professional, terutama guru dan
pemberi atau penyedia pelayanan pendidikan, perlu memiliki pengetahuan dan
pemahaman tentang masyarakat tempat tugas tersebut dikerjakan. Mereka perlu
mngetahui dan memahami realitas sosial dan realitas budaya beserta
manifestasnya di dalam berbagai fenomena sosio-kultural, baik yang dapat
diamati secara langsung maupun yang tak teramati, lebih-lebih yang berhubungan
dengan terjadinya proses pendidikan, yaitu suatu proses mengembangkan
kepribadian.
D.
Masyarakat dan kebudayaan
Pada
kelompok masyarakat terjadi interaksi social dalam memenuhi tuntutan kehidupan,
mulai dari kebutuhan yang paling mendasar seperti makan-minum, dorongan
biologis, keamanan terhadap tantangan
alam (cuaca, binatang buas, bencana, dll) sampai pada kebutuhan aktualisasi diri serta kebutuhan yang lebih
tinggi tingkat derajatnya. Dalam menjalin situasi yang demikian, baik melalui
proses alamiah dari tuntunan tersebut maupun atas dasar kesepakatan, tumbuhlah
nilai, norma, kelaziman, dan aturan-aturan lain yang menjamin berlangsungnya
interaksi social di lingkunagn yang bersangkutan.
Pada
masyarakat sederhana bagaimanapun,
interaksi social, tuntutan kebutuhan, tantangan alam, dan tantangan kehidupan
pada umumnya selalu melekat pada diri masyarakat yang bersangkutan. Oleh karena
itu pertumbuhan dan perkembangan karya,cipta, rasa dan karsa selalu terjadi. Dengan kata lain, pada masyarakat tersebut
berkembang kebudayaan yang menjadi ciri dan jati diri nya.
Sejarah
mencatat bahwa masyarakat manusia mengalami tahap-tahap kehidupan mulai dari
masyarakat ekonomi peramu sederhana (simple food gathering economics), ke
masyarakat ekonomi peramu lebih maju (advance food gathering economics),
berikutnya masyarakat ekonomi pertanian
sederhana (simple agriculture economics), selanjutnya masyarakat ekonomi
pertanian lebih maju (advance agriculture economics), dan akhirnya masyarakat
ekonomi industry (industrial economics. Perkembangan tersebut terkait dengan
perkembangan upaya manusianya memanfaatkan akal mereka (budaya)dalam memenuhi
tuntutan kebutuhan dan tantangan alam lingkungan yang menyediakan sumber daya
serta yang menjadi ruang hidup pada umumya.
Perlu
mendapatkan catatan khusus berkenaan dengan penemuan dan penggunaan api.
Penggunaan api ini membawa dampak positif terhadap perkembangan kebudayaan
selanjutnya. Budaya masak-memasak, kerajinan tembikar, berakar dari pemanfaatan
api ini. Pemanfaatan api,penemuan dan
penggunaan alat-alat, serta senjata membawa dampak kemajuaan budaya dan ekonomi.
Berdasarkan
pembahasan di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa kebudayaan itu melekat
dengan masyarakat.Kebudayaan merupakan suatu sistem yang kait-mengait, baik
dengan perkembangan waktu maupun dengan lokasinya di muka bumi.Perkembangan dan
kemajuan kebudayaan suatu masyarakat, tidak lepas dari kemajuan yang di alami
oleh masyarakat yang lainnya.Kebudayaan dengan masyarakatnya merupakan sistem
terbuka (open system), apalagi dalam abad informasi yang sedang kita alami
dewasa ini.
E.
Aneka Ragam Kebudayaan Indonesia
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk,
multikultural, multi etinik yang menyebar di gugus-gugus kepulauan di
persilangan jalan antara benua Asia-Australia dan persilangan jalan antara
Samudra Indonesia dan Lautan Pasifik, karena adanya proses migrasi dan
mobilitas penduduk dan kontak perdagangan, agama, dan kebudayaan sepanjang sejarah yang kita kenal.
Budaya Indonesia sedang dalam pengembangan di tengah-tengah budaya etnik yang
hidup di masyarakat bersamaan terus berlangsungnya kontak dengan budaya dunia.
Fenomena ini perlu diamati dan dikaji oleh para calon pendidik. .
Harysa Bachtiar (1985: 3-4) memberikan gambaran
adanya 4 jenis sistem budaya di Indonesia yaitu:
1. Jenis
sistem budaya etnik pribumi yang disebut juga sistem adat
2. Sistem
budaya agama besar yang berbeda dengan sistem yang pertama, dan mereka berasal
dari luar Indonesia
3. Sistem
budaya Indonesia yang menaungi kelompok pribumi dan kelompok non pribumi
4. Sistem
budaya majemuk yaitu sistem budaya asing
Sistem
budaya etnik yang memiliki pendukung relative besar adalah etik Jawa, Sunda,
madura, Minangkabau, Bugis, Batak, Bali, Dayak, Toraja dll. Setiap budaya etnik
memiliki sistem nilai berbeda satu sama lain. Sistem budaya agama besar
meliputi agama Islam, Katolik, Protestamn, Hindu, budha dan Kong Fue Tse.Agama
dan budaya agama ini bertemu dengan budaya etnik dan saling melakukan penetrasi
membangun adonan yang bervariasi pula.
Sistem
budaya ini mempengaruhi pola perkembangan baik budaya etnik maupun budaya agama
besar yang ada, terutama oleh adanya
kebijakan pemerintah dari waktu ke waktu. Sistem budaya asing sekuler
terus berkontak dengan sistem-sistem budaya yang ada di Indonesia dan sedikit
banyak akan berpengaruh terhadap sistem-sistem budaya yang ada lewat kemajuan
tegnologi komunikasi, transportasi, dan aneka kontak antar bangsa lainnya. Hal
ini perlu dipelajari dan dipahami terutama dampaknya terhadap sistem perilaku
(kepribadian) yang berkembang di Indonesia.
F.
Modernisasi
Perubahan
social dan pembangunan pada umumnya yang bermakna dan bernilai positif,
berlangsung menuju kearah kemajuan dan pembaharuan. Proses demikian dapat
dikonsepkan sebagai modernisasi. Menurut Prof. Koentjaraningrat (1990: 140-141)
secara singkat, modernisasi tidak lainadalah “usaha untuk hidup sesuai dengan
zaman dan konstelasi dunia sekarang”. Anthony D.S mith(1973:63) mengemukakan
“modernisasi merupakan proses yang dilandasi oleh seperangkat rencana dan
kebijakan yang disadari untuk mengubah masyarakat ke arah kehidupan masyarakat
konteporer yang menurut pemikiran para
pemimpin lebih maju dalam derajat kehormatan tertentu”, “modernisasi merupakan
proses mengangkat kehidupan, suasana batin yang lebih baik dan lebih maju
daripada kehidupan yang sebelumnya, suasan akehidupan yang serasi dengan
kemajuan zaman”.
Pada
akhirnya, proses modernisasi ini akan menghasilkan “manusia moderen”. Menurut
hipotesis Alex Inkeles (Myron Weiner, editor: 1966: 90-93), manusia modern itu
memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Memiliki
kesedian menerima pengalaman-pengalaman baru dan memiliki sifat keterbukaan
terhadap pembaharuan serta perubahan.
2. Mempunyai
kesanggupan mengajukan pendapat tentang berbagai persoalan, baik dari
lingkungan yang dekat maupun yang jauh.
3. Memiliki
pandangan jauh kemasa yang akan dating ataupun keadaan yang sedang berlangsung.
4. Memiliki
rencana dalam kehidupan dan kerja sebagai suatu hal yang wajar.
5. Memiliki
keyakinanakan kempuan manusia dapat belajar untuk memanfaatkan diri sendiri dan
alam lingkungannya.
6. Memiliki
keyakinan bahwa “suatu keadaan dapat diperhitungkan”
7. Memiliki
kesadaran akan harga diri.
8. Memiliki
kesadaran akan kemajuan IPTEK
9. Memilki
kepercayaan akan keadilan, baik penghargaan maupun ganjaran atau hukuman, wajib
diberikan kepada seseorang sesuai dengan perilaku, perbuatan, dan tindakannya.
Selanjutnya
Alex Inkeles mrnyatakan bahwa dari sekian banyak factor yang mempengaruhi
tingkat kemodernan seseorang, factor pendidikan paling utama.Pendidikan
menempati kedudukan, fungsi, dan peranan sangat penting serta bermakna dalam
meningkatkan derajat kemoderenan orang yang bersangkutan.
G.
Teknologi Merupakan Produk Budaya
kebudayaan
merupakan milik otentik umat manusia, sedangkan iptek tidak lain adalah hasil
perkembangan kebudayaan. Sehingga iptek merupakan bagian yang melekat pada diri
umat manusia tadi. Antara kebudayaan dengan iptek, tidak hanya berkaitan satu
sama lain, melainkan juga terdapat hubungan yang timbal balik. Kemajuan
pemikiran manusia dalam bentuk kemajuan kebudayaan, mendorong majunya iptek,
dan kebalikannya, kemajuan dalam bidang iptek menjadi pemacu kemajuan
kebudayaan.
Iptek
sebagai produk budaya, dalam pengembangan dan penerapannya, menuntut tanggung
jawab.Penerapan dan pemanfaatannya itu wajib di arahkan kepada peningkatan
kesejahteraan hidup termasuk kelestarian alam lingkungan nya, bukan justru
sebaliknya untuk membunuh umat manusia serta merusak alam lingkungan tadi.
H.
Peradaban dan Perubahan Sosial
Kebudayaan
lahir beriringan dengan lahirnya masyarakaat manusia. Dengan demikian, jika
masyarakat manusia itu telah lahir sekitar satu atau dua juta tahun yang
lampau, setua itu pulalah usia kebudayaan.
Dari
mulai terjadinya kebudayaan samapi saat ini, kebudayaan itu telah mengalami
proses perkembangan secara bertahap-berkesinambungan yang kita konsepkan sebagai “evolusi
kebudayaan”. Evolusi kebudayaan ini berlangsung sesuai dengan perkembangan
budidaya atau akal-pikiran manusia dalam menghadapi tantangan hidup dari waktu
ke waktu. Kebudayaan merupakan suatu kontinum bertahap ke arah yang makon kompleks, bukan merupakan suatu
kumulasi. Pada tahap-tahap perkembangan itu, masyarakat dengan kebudayaan
mencapai beradapan tertentu.
Berdasarka
suatu konsep, peradaban tidak lain adalah perkembangan kebudayaan yang telah
mencapai tingkat tertentu yang di cirikan oleh taraf intelektual, keindahan,
teknologi, dan spiritual tertentu yang di peroleh manusia sebagai pendukungnya.
Masyarakat
yang mencapai tingkat modern, bukan dikatakan kebudayaan modern, melainkan
peradapan modern. Suatu masyarakat yang
telah mencapai peradapan tertentu, berarti telah mengalami evolusi kebudayaan
yang lama dan bermakna sampai tehap tertentu yang di akui tingkat IPTEK dan
unsur-unsur budaya lain. Dengan demikian, masyarakat tadi telah mengalami
proses perubahan social yang berarti, sehingga taraf kehidupannya makin
kompleks. Perubahan segala aspek kehidupan, tidak hanya dialami, dihayati, dan
dirasakan oleh anggota masyarakat, melainkan telah di akui serta didukungnya.
Jika proses tersebut telah terjadi demikian, maka dapat dikatakan masyarakat
itu telah mengalami “perubahan sosial”. Pada masyarakat tersebut, struktur,
organisasi, dan hubungan social telah mengalami perubahan.
Menurut
definisi dari Fairchild dan kawan-kawan
(1980: 277) bahwa perubahan social diartikan sebagai variasi atau
modifikasi dari sesuatu kemajuan, pola, atau bentuk social. Istilah yang
komperehensif yang menunjukkan hasil dari setiap gerakan social. Perubahan
social mungkin merupakan suatu kemajuan atau kemunduran, mungkin bersifat tetap
atau sementara, mungkin terencana atau tidak terencana, mungkin hanya satu atau
arah atau arahnya majemuk, mungkin menunjukkan sesuatu yang menguntungkan atau merugikan, dan
demikian seterusnya. Cepat atau lembat masyarakat akan mengalami perubahan
sosial. Perubahan sosia itu bersifat
umum meliputi perubahan berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat , samapi pada
pergeseran, persebaran umur, tingkat pendidikan, hubungan antar warga, baik
warga dalam masyarakat pada umumya maupun dalam lingkungan kerja.
Akibat
dari perubahan sosial itu, terjadi perkembangan pranata(institutional ization)
dan pergeseran nilai (value shift). Pada perubahan pranata itu terjadi
peninjauan kembali pranata (reinstitutionalization). Pada proses perubahan
pranata itu sudah pasti terjadi pergeseran-pergeseran nilai yang luhur menjadi
lumrah atau biasa, hal-hal yang asalnya sakral (dianggapa suci) menjadi tidak
lagi suci (profan).
Pada
proses perubahan sosial termasuk yang kita konsepkan sebagai pembangunan, ada
pihak atau subjek penggeraknya. Penggerak perubahan (agent of change) itu, bias
perseorangan,lembaga atau pemerintah, pihak-pihak tadi, selain memiliki
kepedulian yang tinggi terhadap perubahan dan pembangunan, juga memiliki
kemampuan raasional serta wawasan keruangan yang mantap. Sebagai penggerak
perubahan, ia tidak hanya mampu melihat
kenyataan hari ini, baik berkenaan dengan sumber daya alam dan sumber daya
manusia, maupun berkenaan dengan
lingkungan hidup yang menjadi wadah serta wahana perubahan dan pembangunan, namun ia mampu juga melihat
perspektif aspak-aspek tadi untuk masa yang akan dating. Dengan demikian,
perubahan yang di gerakkannya, tidak hanya sekedar perubahan, melainkan merupakan
pembangunan yang bermakna sejahtera, serasi dan seimbang antara kehidupan dan
lingkungan. Peradapan manusia saat ini,
wajib memiliki kepedulian menciptakan
SDM yang berkualitas tinggi sesuai dengan tuntutan kehidupan dan zaman
yang penuh dengan persaingan dan tantangan.
BAB III KESIMPULAN
Dari
uraian di atas dapat di simpulkan bahwa perubahan terjadi seiring dengan adanya konflik yang
membentuk kelompok baru dan kelas social yang baru. kebudayaan itu melekat
dengan masyarakat.Kebudayaan merupakan suatu sistem yang kait-mengait. Perkembangan
dan kemajuan kebudayaan suatu masyarakat, tidak lepas dari kemajuan yang di
alami oleh masyarakat yang lainnya.Kebudayaan dengan masyarakatnya merupakan
sistem terbuka (open system), apalagi dalam abad informasi yang sedang kita
alami dewasa ini.Karena pada era globalisasi ini sudah banyak perubahan yang
muncul seiring dengan SDM dan juga iptek serta olah piker dari para masyarakat
yang menggerakkan sehingga terjadi perubahan menuju kemajuan dan pembaharuan.
Sistem
budaya asing terus berkontak dengan sistem-sistem budaya yang ada di Indonesia
dan sedikit banyak akan berpengaruh terhadap sistem-sistem budaya yang ada
lewat kemajuan tegnologi komunikasi, transportasi, dan aneka kontak antar
bangsa lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Sulistyono, T.
2001. Sosioantropologi Pendidikan.
Yogyakarta: FIP UNY
Suyata Drs. MSc., Ph.D. 2000. Sosio-Antropologi Pendidikan. Yogyakarta: FSP FIP UNY
Nursid Sumaatmadja DR. 1998. Manusia dalam Konteks sosial, budaya, dan lingkungan hidup.
Bandung: Alfabeta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar